Indonesia dikenal memiliki berbagai jenis tarian tradisional. Tarian klasik merupakan salah satu jenis tari yang masih dilestarikan bahkan dipentaskan hingga saat ini. Pada awalnya, tarian ini muncul dan berkembang di sekitar wilayah keraton atau pusat pemerintahan.
Oleh karena itu, tari klasik biasanya dianggap sakral bagi masyarakat setempat. Setiap daerah dari Sabang sampai Merauke memiliki tari klasik dengan ciri khas dan keunikan tersendiri. Tarian tersebut memiliki aturan baku yang tidak dapat diubah.
Pengertian Tarian Klasik
Tari klasik atau tari tradisional lahir pada lingkungan keraton maupun di wilayah pusat pemerintahan. Tarian ini adalah warisan turun-temurun dari kalangan bangsawan dan sering disebut sebagai jenis tari tertua yang ada di Indonesia.
Meskipun demikian, daya tarik dari tari klasik tidak kalah dengan berbagai jenis tari kontemporer dan modern. Umumnya, tarian ini memiliki peraturan yang baku, sehingga tidak dapat diubah. Karakter tari klasik dapat dilihat pada koreografi para penari yang dapat bergerak dengan lembut dan tegas.
Ciri-Ciri Tarian Klasik
Setiap tarian memiliki ciri khas masing-masing tergantung pada daerah maupun nilai yang ada di dalamnya. Untuk tari klasik, terdapat beberapa ciri khusus yang membuatnya berbeda dengan tarian lain seperti berikut ini.
1. Memiliki Aturan Tertentu
Tari klasik sudah memiliki peraturan (pakem) tertentu yang sudah ada sejak dulu. Aturan tersebut tidak dapat diubah kaerena dapat mengubah maknanya. Misalnya, tari Cakaleleng yang memiliki dua versi dengan fungsi yang berbeda yaitu tradisional dan festival.
Tari Cakaleleng tradisional digunakan sebagai upacara adat, sedangkan Cakaleleng festival digunakan sebagai media hiburan. Jika keduanya tidak dipisahkan, maka tari Cakaleleng tradisional akan kehilangan unsur mistis (magis). Namun, untuk melestarikannya maka dibuat versi festival.
2. Kostum Mewah
Kostum yang digunakan oleh para penari di tari klasik tergolong cukup mewah. Hal ini disebabkan karena kemunculan tari yang berasal dari wilayah keraton. Para penari pun menggunakan kostum yang menyerupai bangsawan atau yang cocok untuk terlihat di depan bangsawan.
Selain tergolong mewah, tari klasik juga menggunakan banyak properti kostum tambahan (pelengkap) yang banyak dan bervariasi. Misalnya, gelang, mahkota, dan gelang kaki. Semua properti tersebut memiliki makna tersendiri yang merepresentasikan tema yang dibawakan.
3. Tata Rias yang Cantik
Ciri-ciri tari klasik selanjutnya yaitu memiliki tata rias yang cantik. Para penari umumnya menggunakan riasan yang tebal sesuai dengan tema tarian. Dengan demikian, karakter para penari menjadi terlihat lebih jelas dan tersusun dengan baik.
Akan tetapi, tidak semua tari klasik yang ada di Indonesia menggunakan riasan yang tebal. Ada beberapa penari yang tidak membutuhkan atau menggunakan riasan, seperti penari laki-laki yang menghadirkan kesan prajurit dan semangat perjuangan.
4. Nilai Estetika Tinggi
Nilai estetika yang terdapat di tari klasik tergolong sangat tinggi. Tarian ini mengandung filosofi yang sangat kental sesuai dengan budaya dari daerah tempatnya berkembang. Hal ini menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara.
Contoh Tarian Klasik
1. Tari Bondan
Tari bondan adalah tari klasik yang berasal dari Jawa Tengah. Ciri khas dari tarian ini yaitu menggunakan properti seperti payung kertas, kendil, serta boneka bayi yang digendong oleh penari. Menurut sejarah, tari bondan wajib ditarikan oleh kembang desa sebagai wujud pencarian jati diri.
Tarian ini menggambarkan bagaimana seorang ibu yang sedang mengasuh anaknya. Filosofi yang terkandung tari tari bondan yaitu wanita tidak hanya harus cantik secara fisik, tetapi juga harus mampu untuk mengasuh dan merawat anak-anak mereka.
Musik gending mengiring tiga jenis dari tarian ini, yaitu tari bondan cindogo, tari tani (pegunungan), dan tari bondan mardisiwi. Para penari menggunakan busana berupa baju kutang, jamang, kain wiron, dan rambut yang sudah disanggul.
Penari tersebut bergerak sambil menggendong boneka bayi dengan satu tangan. Adapun tangan lainnya memegang payung kertas dan terdapat adegan dimana penari memecahkan kendil di hadapan penonton.
2. Tari Bedhaya
Tarian klasik Jawa yang dulunya ditarikan oleh kalangan keraton Surakarta pewaris tahta kerajaan Mataram disebut dengan tari bedhaya. Tari klasink ini juga biasanya dibawakan oleh penari perempuan dengan gemulai dan diiringi tembang dari gamelan Jawa.
Tarian bedhaya memiliki beberapa versi dan tidak jarang memberikan persyaratan khusus dalam pementasannya. Misalnya, penari tidak sedang menstruasi, harus perawan, serta harus berpuasa sebelum pementasan dilakukan.
3. Tari Dolalak
Tarian dolalak merupakan salah satu kesenian yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah. Pemberian nama dolalak diambil dari not “do” dan “la.” Hal ini disebabkan karena tarian ini diiringi oleh sepasang kenong yang memainkan kedua nada tersebut.
Berbeda dengan tarian tradisional lainnya yang memiliki latar belakang sejarah dari spiritual atau kisah, tarian dolalak justru lahir dari masyarakat pribumi. Saat itu, mereka menyaksikan prajurit kolonial sedang beristirahat dari peperangan dengan mengadakan pesta dan minum-minuman.
Oleh karena itu, busana yang digunakan oleh penari dolalak juga menyerupai pakaian serdadu colonial Perancis dan Belanda. Para penari biasanya melakukan gerakan-gerakan yang berbeda-beda dalam durasi waktu sekitar 5 jam.
Dalam salah satu babak menampilkan penari akan kerasukan kemudian makan sesajen yang telah disediakan. Pada zaman dahulu, tari dolalak ini ditarikan oleh laki-laki, akan tetapi seiring perkembangannya diubah menjadi gadis-gadis yang kemudian menjadi daya tarik penonton.
4. Tari Bedhaya Ketawang
Tarian khusus kerajaan yang ditampilkan pada momen penobatan dan upacara peringatan hari kelahiran Raja atau Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta disebut dengan tari bedhaya ketawang. Tarian klasik ini diiringi musik gamelan yang lembut.
Musik gamelan tersebut konon diciptakan oleh Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencanasari. Nama bedhaya ketawang berasal dari kata “bedhaya” yang berarti langit sesuai dengan asal tarian ini yaitu saat Sultan Agung terpesona mendengar suara senandung dari langit ketika melamun sendirian.
Selain itu, terdapat sumber lain yang mengatakan bahwa tarian ini memiliki makna yang berhubungan dengan kemuliaan, keluhuran, atau sesuatu yang tinggi. Saat ini, tari bedhaya ketawang sering ditampilkan saat penobatan dan hari peringatan hari kenaikan tahta Sultan Surakarta.
5. Tari Gambir Anom
Gambir anom adalah tari yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. Tari klasik ini mengisahkan tentang Irawan sebagai putra Arjuna sedang jatuh cinta kepada lawan jenisnya. Hal ini terlihat pada gerakan pantomim bingung, berdandan, serta gerakan lain yang menunjukkan perasaan jatuh cinta.
Tarian ini dibawakan dengan gerakan yang gemulai dan diiringi dengan gamelan bertempo cepat oleh penari laki-laki tunggal. Akan tetapi, tari gambir anom kini juga dapat dibawakan oleh penari perempuan dengan menggunakan properti sayap khas kuluk hanoman dan tokoh pewayangan.
6. Tari Lengger
Tari lain yang berasal dari Wonosobo, Jawa Tengah yaitu tari lengger. Nama “lengger” diambil dari kata “eling ngger” yang berarti manusia harus selalu mengingat nasihat untuk senantiasa menyingkirkan keburukan dan membela kebenaran.
Tarian ini dibawakan oleh dua penari laki-laki dan perempuan menggambar usaha Dewi Candra Kirana yang sedang mencari suaminya dan diganggu oleh raksasa jahat. Tari lengger sangat kental dengan budaya Jawa berdasarkan musik pengiring (angklung Jawa) dan busana penari.
Penari perempuan menggunakan baju tradisional Jawa yang berupa kemben, selendang, dan beberapa tambahan aksesoris lain. Sementara itu, penari laki-laki menggunakan topeng yang menggambarkan raksasa jahat.
Tarian klasik merupakan tari yang muncul dan berkembang di sekitar wilayah keraton atau pusat pemerintahan. Beberapa contoh dari tarian ini yaitu tari bondan, tari bedhaya, tari dolalak, tari bedhaya ketawang, tari gambir anom, dan tari lengger.